1. PENDIDIKAN
Tenaga Kefarmasian sebagai tenaga kesehatan terdiri dari lulusan berbagai jenis pendidikan tinggi. Perbedaan jenis pendidikan tinggi telah dirancang oleh Pemerintah berdasarkan kurikulum proses belajar, dan dunia kerja lulusannya.
Pendidikan vokasi dipersiapkan menghasilkan lulusan siap kerja dengan keahlian terapan dimana rasio antara praktikum dan teori dalam kurikulumnya adalah 70:30. Pendidikan vokasi dapat dikembangkan hingga tingkat Doktor Terapan.
Sebaliknya, pendidikan akademik memperbesar porsi teori karena mengarahkan lulusannya untuk dapat menguasai dan mengembangkan IPTEK. Untuk pendidikan dengan lanjutan ke jenjang profesi, pendidikan S1 bertujuan untuk mempersiapkan lulusan yang
dapat mengembangkan dirinya pada jenjang pendidikan profesi atau pada jenjang
pendidikan akademik lanjut, atau dapat bekerja di bidang kefarmasian. Dengan kata lain, lulusan pendidikan akademik memiliki pilihan yang lebih luas pasca kelulusan; dapat melanjutkan ke profesi, S2, atau bekerja.
Sementara itu, pendidikan profesi menyiapkan peserta didiknya untuk bekerja di bidang yang memerlukan keahlian khusus.
pada tabel halaman 3 Tabel ini menunjukkan perbandingan kurikulum inti antara pendidikan D3 Farmasi dan D3 Analis Farmasi dan Makanan. Dari daftar mata kuliah tersebut, terlihat arah capaian pembelajaran lulusan masing-masing program studi.
2. KOMPETENSI
Pendidikan tinggi menghasilkan lulusan dengan capaian pembelajaran yang mencerminkan kompetensi. Kompetensi terdiri dari penguasaan pengetahuan/keilmuan, keterampilan, dan sikap. Gambaran/profil kompetensi yang dimiliki luulsan setelah selesai menempuh pendidikan adalah sbb:
a.Lulusan D3 Farmasi/Ahli Madya Famasi dianggap mampu melakukan pelayan kefarmasian, produksi dan distribusi sediaan farmasi, serta membantu pelaksanaan penelitian di bidang kefarmasian.
b.Lulusan D3 Analis Farmasi dianggap memiliki kemampuan dalam melakukan pengelolaan bahan dan peralatan lab farmasi dan makanan, melakukan analisis sediaan farmasi dan makanan, memverifikasi kesesuaian proses pemeriksaan dengan SOP, dan membantu proses penelitian dasar maupun terapan di lab bidang farmasi dan makanan.
c.Lulusan S1 Farmasi dituntut untuk memenuhi 8-star pharmacist plus.
3. TEMPAT KERJA
Tenaga Teknis Kefarmasian dapat bekerja di Fasilitas Kefarmasian. Namun, perlu diperhatikan perbedaan antara Fasilitas Kefarmasian dengan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.
Menurut PP 51/2009, Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian yang terdiri dari Fasilitas Produksi, Distribusi, dan Pelayanan Kefarmasian. Ketiga fasilitas ini dapat menjadi tempat praktik/kerja tenaga teknis kefarmasian lulusan D3 Farmasi dan S1 Farmasi.
Sementara itu, Fasilitas Pelayanan Kefarmasian yang terdiri dari Apotek, IFRS, Puskesmas, Klinik, Toko Obat, dan Praktik Bersama tidak bisa menjadi tempat lulusan D3 Analis Farmasi bekerja. TTK lulusan D3 Analis Farmasi dalam pelaksanaan pekerjaannya harus sesuai dengan profil lulusan sebagai tenaga yang bekerja bukan di fasilitas pelayanan kefarmasian.
Pasal 20 PP No. 51 Tahun 2009 menyebutkan, “Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/atau TTK.”
TTK dalam Pasal ini harus dimaknai sebagai lulusan D3 Farmasi atau S1 Farmasi.
Jika dilihat dari sejarahnya, cikal bakal D3 Anafarma adalah Sekolah Teknik Laboratorium Kimia Farmasi (STLKF) Depkes yang didirikan pada tahun 1973 untuk mendidik PNS dari Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan agar memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan pekerjannya karena belum semua PNS pada saat itu memiliki kompetensi di bidang tersebut. Lama pendidikan adalaha 3 semester dan semua pembiayaan dibebankan pada Depkes. Seiring dengan tuntutan pengawasan di bidang farmasi dan makanan dan untuk menjawab Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 yang mensyaratkan tenaga kesehatan profesional adalah tenaga kesehatan tingkat ahli madya atau sarjana, STLKF meningkat menjadi program D3.
Permasalahan yang terjadi di lapangan adalah kesalahan rekrutmen atau pilihan tempat bekerja TTK sehingga kompetensi yang dimiliki setiap jenis TTK tidak tepat dalam aplikasinya. Hal ini terjadi khususnya pada lulusan D3 Farmasi dan D3 Anafarma. Persepsi terhadap kualifikasi TTK masih diseragamkan tanpa melihat latar belakang pendidikannya.
Tidak seperti Apoteker, SIPTTK tidak menyebutkan tempat praktik TTK (dalam format SIPA sesuai Surat Edaran Nomor HK.02.02/MENKES/24/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Permenkes Nomor 31 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Permenkes Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, disebutkan di fasilitas mana Apoteker ybs bekerja, apakah di fasilitas produksi atau distribusi atau pelayanan). Dinas Kesehatan adalah filter pertama dalam menentukan tempat praktik yang sesuai yang dicantumkan pada SIPTTK dengan memperhatikan lulusan pada STRTTK.
Jika seorang TTK ingin menjadi PNS, maka TTK lulusan S1 Farmasi dapat diangkat ke dalam jabatan fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan (kategori Keahlian), atau Administrator Kesehatan (kategori Keahlian).
TTK lulusan D3 Farmasi dapat diangkat dalam jafung Asisten Apoteker (kategori Keterampilan).
TTK lulusan D3 Analis Farmasi dan Makanan dapat diangkat dalam jabfung Pengawas Farmasi dan Makanan (kategori Keterampilan).
materi lengkap dapat rekan sejawat download pada link berikut;
https://drive.google.com/drive/folders/1KP1dHTywwim04MTRnEeNMM89lVcziwJS